BAB 2
A. PENDAHULUAN
1.
Deskripsi
Singkat
Pada bab ini
dibahas tentang perkembangan matematika bangsa Sumeria,
pendekatan nilai
dan
perkembangan matematika lainnya di Babilonia serta para matematikawan lain yang hidup di Babilonia
serta karya-karya mereka.
2.
Relevansi
Pada bagian
ini dibahas perkembangan matematika bangsa Sumeria, pendekatan
nilai
dan
perkembangan matematika lainnya di Babilonia serta para matematikawan lain yang hidup di
Babilonia serta karya-karya mereka. Dengan dasar pemahaman ini, akan menjadi
landasan bagi para mahasiswa dalam menempuh mata kuliah kalkulus diferensial,
kalkulus integral, kalkulus peubah banyak, teori bilangan dan aljabar, atau
menguatkan konsep yang sudah dipelajari dalam mata kuliah tersebut. Selanjutnya
ketika mereka terjun ke sekolah maka akan dapat membantu dalam menyajikan
konteks dan memotivasi kepada para siswa ketika pembelajaran tentang konsep keliling
dan luas lingkaran, atau luas permukaan dan volume pada bangun ruang sisi lengkung.
3.
Kompetensi
Dasar
Setelah
mempelajari bab ini, mahasiswa mampu menjelaskan tentang perkembangan
matematika bangsa Sumeria, pendekatan nilai
dan
perkembangan matematika lainnya di Babilonia serta para matematikawan lain yang hidup di
Babilonia serta karya-karya mereka.
B. PENYAJIAN
1.
Matematika
Babilonia
Kata “Matematika” berasal
dari bahasa yunani kuno “mathema”, yang berarti pengkajian, pembelajaran, ilmu
yang ruang lingkupnya menyempit. Matematika berawal dari berhitung dan dapat
dipandang sebagai sederetan abstraksi yang selalu bertambah banyak, atau meluas
dari pokok masalahnya.
Benda matematika tertua yang sudah diketahui adalah tulang Lolombo, ditemukan
di pegunungan Lelombo di Swaziland dan mungkin berasal dari tahun 35000 SM.
Sedangkan tulisan matematika terkuno yang telah ditemukan adalah plimton
322(Matematika Babilonia sekitar 1900 SM(lembaran matematika Rhindm)) dan
dilanjutkan dengan adanya penemuan-penemuan lembaran lain di daerah sekitar
babilonia seperti Mesir dan Arab.
Dasar matematika bangsa
Babilonia diturunkan oleh bangsa Yunani yang perkembangannya dimulai sekitar
450 SM. Setelah kurun waktu ini diikuti oleh negara-negara islam seperti Iraq,
Syiria, dan India.
Perkembangan Matematika Babilonia
Babilonia adalah
sebuah peradababan kuno yang terletak di kawasan tengah-selatan Mesopotamia (dataran yang sangat subur
diantara sungai Tigris dan Eufrat). Kawasan Mesopotamia termasuk warisan dari suku Sumeria, Akkad dan Asyria (pada tahun 2300 SM). Pada tahun 2000
SM suku Babilon menyerang suku tersebut dan mendirikan ibu kota babilonia.
Gambar .... peta babilonia,
Sumber: www.google/peta-babilonia/image.com)
Kawasan ini sangat penting
karena menjadi salah satu dari tempat awal manusia hidup bersama-sama dalam
satu peradaban. Penduduk Bablonia,
atau yang sering disebut Babilon, memiliki satu bahasa penulisan yang mereka gunakan untuk mempelajari
perkara-perkara yang berkaitan dunia di sekeliling mereka. Sejarah
mengatakan bahwa orang-orang babilon merupakan orang yang pertama
kali menulis dari kiri ke kanan, dan banyak membuat banyak dokumen-dokumen
bertulis.
Matematika Babilonia merujuk pada seluruh
matematika yang dikembangkan oleh bangsa. Mesopotamia yang kini bernama
Iraq sejak permulaan Sumeria hingga
permulaan peradaban helenistik. Dinamai
“Matematika Babilonia” karena peran utama kawasan Babilonia sebagai tempat
untuk belajar. Pada zaman helenistik matematika babilonia berpadu
dengan matematika Yunani dan Mesir, kemudian dibawa kekhalifaan Islam,
Mesopotamia, terkhusus Bagdad, menjadi pusat penting pengkajian matematika Islam.
Lebih
dari400 lempengan tanah liat ditemukan sebagai sumber sejarah bangsa Babilonia
yang digali sejak 1850-an. Lempengan-lempengan tersebut ditulis dengan
menggunakantulisan berbentuk paku.Lempengan tersebut
diberi tulisan ketika tanah liat masih basah, dan kemudian dibakar dalam tungku
atau dijemur di bawah terik matahari bahkan beberapa di antaranya
adalah karya rumahan.
Gambar .... lempengan peninggalan babilonia
Bukti terdiri matematika
menyebutkan bahwa lempengan bertulisan tersebut adalah karya bangsa Sumeria, yang membangun peradaban kuno
di Mesopotamia. Mereka mengembangkan sistem rumit metrologi sejak tahun 3000 SM. Dari
kira-kira 2500 SM ke muka, bangsa Sumeria menuliskan tabel perkalian pada lempengan tanah liat
yang berkaitan dengan geometri dan pembagian. Jejak terdini sistem bilangan Babilonia
juga merujuk pada periode ini.Sebagian besar lempengan tanah liat yang sudah
diketahui berasal dari tahun 1800 sampai 1600 SM, dan meliputi topik-topik
pecahan, aljabar, persamaan kuadrat dan kubik, dan perhitungan bilangan regular, invers perkalian, dan bilangan prima kembar. Lempengan
itu juga meliputi tabel perkalian dan metode penyelesaian persamaan linear dan persamaan kuadrat. Lempengan Babilonia 7289 SM
memberikan hampiran bagi √2 yang akurat sampai lima tempat desimal.
Penemuan Bangsa
Babilonia
Teks matematika Babilonia sangat
banyak jumlahnya dan teredit dengan sangat baik. Sistem matematika Babilonia adalah
seksagesimal atau bilangan berbasis 60.Kemajuan besar dalam matematika ini
terjadi karena dua alasan. Pertama, angka 60 memiliki banyak pembagi
yaitu 2, 3, 4, 5, 6, 10, 12, 15, 20, dan 30, yang membuat perhitungan
jadi lebih mudah. Selain itu, bangsa Babilonia memiliki sistem bilangan real
dimana digit yang ditulis sebelah kiri memiliki nilai yang lebih besar seperti
bilangan berbasis 10.
Pencapaian dalam ilmu matematika
lainnya yaitu ditemukannya penentuan nilai akar kuadrat, bahkan para ilmuan
Babilonia telah mendemonstrasikan teori Pythagoras, jauh sebelum Pythagoras
sendiri muncul dengan teorinya dan hal ini dibuktikan oleh Dennis Ramsey yang
menerjemahkan sebuah catatan kuno yang berasal dari tahun 1900 sebelum masehi.
Penjelasannya seperti berikut :
“4 adalah panjangnya dan 5 adalah panjang diagonalnya, lalu
berapa lebarnya?. Mereka mengumpamakan jika kedua angka tadi dikalikan dengan
angka itu sendiri, maka akan ditemukan nilai tengahnya. Jika 4 x 4 = 16 dan 5 x
5 = 25, maka selisih antara 16 dan 25 adalah 9.Dari angka berapakah kita bisa
mendapatkan angka 9? Angka tersebut harus bisa menghasilkan 9 jika angka tersebut
dikalikan dengan angka itu sendiri, dan 9 didapatkan dari 3 x 3.Sehingga
disimpulkan bahwa 3 adalah lebarnya karena semua angka dikalikan dengan angka
itu sendiri.”
Empat papan bertulis yang
ditemukan antara lain papan Yale YBC 7289, Plimpton 322, papan Susa, dan papan
Tell Dhibayi.Ner 600 dan Sar 3600 terbentuk dari angka 60 yang sesuai dengan
derajat khatulistiwa. Catatan kuno tentang kuadrat dan kubus yang dihitung
menggunakan angka 1 hingga 60, ditemukan di Senkera dimana orang-orang telah
mengenal jam matahari, clepsydra, juga tuas dan katrol, padahal saat itu mereka
belum memiliki pengetahuan tentang mekanika. Bangsa Babilonia juga sudah lama
mengenal lensa kristal dan penyalaan bubut sebelum ditemukan oleh Austen Henry
Layard dari Nimrud.
Bangsa Babilonia juga sudah
sangat familiar dengan aturan umum untuk mengukur suatu area. Mereka mengukur
keliling lingkaran sebanyak 3 kali diameter dan luasnya sebagai satu per
duabelas kuadrat dari lingkaran, dan jika hitungannya benar, maka
nilai π akan bernilai 3. Volume
silinder diambil sebagai produk dari alas dan tinggi,
namun, volume frustum sebuah kerucut atau piramida persegi dihitung
dengan tidak
benar sebagai produk dari ketinggian dan setengah jumlah dari
basis. Juga, ada penemuan terbaru dalam sebuah catatan kuno
mencantumkan bahwa nilai π adalah 3 dan 1/8. Di babilonia juga
dikenal mil Babilonia, yang merupakan ukuran sebesar jarak sekitar tujih mil
hari ini. Pengukuran jarak ini konversi menjadi satu mil waktu yang digunakan
untuk mengukur perjalanan matahari, yang merepresentasikan panjangnya waktu.
Berapa penemuan dari Babilonia yang masih digunakan
sampai sekarang.
1.
Menentukan sistem bilangan, sistem berat dan ukur pertama
kali.
2.
Menggunakan sistem desimal dan π = 3,125.
3.
Penemu kalkulator pertama kali.
4.
Geometri sebagai basis perhitungan astronomi.
5.
Metode pendekatan untuk akar kuadrat.
6.
Sudah mengenal teorema Pytagoras
Sistem
Bilangan Babilonia
Sistem penulisan bangsa babilonia
dikenal dengan sebutan”cuneiform”yang berasal dari kata”cuneus”yang bermakna
irisan atau belahan dan kata “forma”yang bermakna bentuk. Matematika Babilonia
ditulis menggunakan sistem
bilanganseksagesimal (basis-60). Penggunaan
bilangan seksagesimal dapat dilihat pada penggunaan satuan waktu yaitu 60 detik
untuk semenit, 60 menit untuk satu jam, dan pada penggunaan satuan sudut yaitu
360 (60 x 6) derajat untuk satu putaran lingkaran, juga penggunaan
detik dan menit pada busur lingkaran yang melambangkan pecahan derajat.
Kemajuan orang Babilonia di dalam matematika didukung oleh fakta bahwa 60
memiliki banyak pembagi.
Bangsa Babilonia memiliki sistem
nilai-tempat yang sejati, di mana angka-angka yang dituliskan di lajur lebih
kiri menyatakan nilai yang lebih besar, seperti di dalam sistem desimal.Akan tetapi, terdapat
kekurangan pada kesetaraan koma desimal, sehingga nilai tempat suatu simbol
seringkali harus dikira-kira berdasarkan konteksnya.Pada zaman ini juga belum
ditemukan angka nol. Tetapi bangsa Babilonia tidak hanya menggunakan sistem
seksagesimal saja mereka juga menggunakan bilangan basis 10. Basis 10 digunakan
karena bilangan 1 sampai 59 yang dibentuk dari simbol ‘satuan’atau unit dan
simbol’puluhan’yang ditempatkan menjadi satu kesatuan. Berikut adalah 59 simbol
bilangan Babilon;
Gambar .... simbol bilangan babilonia
Untuk suatu sistem posisional tertentu
diperlukan suatu konvensi tentang bilangan yang menunjukkan keunikan suatu
bilangan. Misalnya desimal 12345 berarti:
1 x 104 + 2 x 103 + 3 x 102 + 4x 10 + 5
Sistem posisional seksagesimal
Bablonia menganut cara penulisan seperti cara diatas, yaitu bahwa posisi yang
paling kanan adalah untuk unit samapai 59, satu sisi disebelah kirinya adalah
untuk 60 x n, dimana 1 kurang dari = n kurang dari = 59 dan
seterusnya. Sekarang kita menggunakan notasi dimana bilangan dipisahkan dengan
koma, misalnya, 1,57,46,40 menyatakan bilangan seksagesimal1 kali 60 pangkat 3 tambah
57 kali 60 pangkat dua ditambah 46 kali 60 tambah 40 yaitu dalam notasi
desimal bernilani 424000
Namun masih terdapat persoalan
dengan sistem ini. Karena dua dinyatakan dengan dua karakter yang masing-masing
menyatakan satu unit, dan 61 dinyatakan dengan satu karakter untuk satu unit
sebagai bilangan pertama dan sebagai bilangan kedua adalah karakter
yang identik untuk satu unit maka bilangan seksagesimalBabiloniaia 1,1 dan 2 secara
esensial dinyatakan secara serupa. Namun hal ini bukanlah persoalan sebenarnya
karaena adanya spasi diantara karakter-karakter tersebut menunjukkan
perbedaan-perbedaannya. Dalam simbol untuk 2 kedua
karakter yang menyatakan unit saling berdempet dan menjadi simbol tunggal.
Dalam bilangan 1,1 terdapat suatu spasi diantaranya. Satu persoalan yg
lebih serius adalah fakta bahwa tidak terdapat nol untuk menyatakan posisi yang
kosong. Bilangan seksagesimal menyatakan bilangan 1 dan 1,0 untuk 1 dan 60
desimal, memiliki pernyataan yg sama persis dan spasi tidak membawa perbedaaan.
Barangkali peradaban babilon selanjutnya telah menetapkan saebuah simbol untuk
menyatakan kekosongan.
Berikut adalah contoh dari
sebuah papan huruf paku dimana perhitungan unutk pangkat dua 147 dinyatakan.
Dalam bilangan seksagesimal 147=2,27 dan mengkuadratkannya memberikan hasil
21609=6,0,9
Jikalau posisi untuk kosong
menjadi masalah untuk bilangan bulat maka justru terdapat persoalan yang lebih
besar pada fraksi seksagesimal Babilonia. Bangsa
Babilonia menggunakan suatu sistem fraksi seksagesimal yang serupa dengan
fraksi desimal kita.Misalnya jika kita menulis 0,125 maka berarti 1/10 + 2/100
+5/1000 = 1/8.Tentu saja fraksi dengan bentuk a/b, dalam bentuknya yang paling
rendah, dapat dinyatakan sebagai fraksi desimal finit jika dan hanya jika b
tidak dapat dibagi dengan bil. Prima selain 2 atau 5. Jadi
1/3 tidak memiliki fraksi desimal yang finit. Serupa halnya fraksi seksagesimal Babilonia 0;7,30
dinyatakan dengan 7/60 +30/3600 yang ditulis dengan notasi kita sebagai
1/8.Karena 60 dapat dibagi dengan bilangan prima 2,3 dan 5 maka sebuah bilangan
dengan bentuk a/b, dan bentuknya yang paling rendah, dapat dinyatakan sebagai
fraksi desimal finit jika dan hanya jika b tidak dapat dibagi oleh bilangan
selain 2,3,dan 5. Fraksi yang laian oleh karenanya dapat dinyatakan sebagai
fraksi seksagesimal dan bukan sebagai fraksi desimal finit.
Perkiraan notasi tersebut
digunakan untuk menyatakan bilangan seksagesimal dengan bilangan pecahan. Untuk
menyatakan 10,12,5;1.52.30 adalah
10 x 602 + 12 x 60 + 5 +1/60
+52/602 +
30/603
Yang dalam notasi kita adalah
36725 1/32. Hal ini berlaku namun di atas telah
dikemukakan notasi semikolon untuk menunjukkan dimana bagian integernya
berakhir dan bagian pecahannya dimulai. Inilah “koma
seksagesimal” dan memainkan peranan yang analog pada koma desimal. Namun
bangsa Babilonia tidak memiliki notasi untuk menunjukkan dimana bagian integer
berakhir dan bagian pecahan dimulai. Jika kita menulis 10,12,5,1,52,30 tanpa
memiliki suatu notasi tentang “koma seksagesimal” maka bilangan ini dapat
meemiliki beberapa arti sebagai berikut:
0;10,12,5,1,52,30
10;12,5,1,52,30
10,12;5,1,52,30
10,12,5;1,52,30
10,12,5,1;52,30
10,12,5,1,52;30
10,12,5,1,52,30
Sebagai tambahan, tentu saja, sampai 10,12,5,1,52,30,0 atau
0;0,10,12,5,1,52,30 dan seterusnya.
2. Ilmuwan Matematika di Mesopotamia
Diophantus (250-200 SM)
Sumber: www.wikipedia-indo.com
Gambar.....
Biografi
Sedikit
yang diketahui tentang kehidupan Diophantus. Dia tinggal di Alexandria, Mesir,
mungkin dari antara tahun 200 dan 214-284 atau 298. Sekitar tahun 250 seorang
matematikawan Yunani yang bermukim di Alexandria melontarkan problem matematika
yang tertera di atas batu nisannya, dalam batu nisannya tertulis: 'Di sini
terletak Diophantus,' keajaiban lihatlah.
Tidak
ada catatan terperinci tentang kehidupan Diophantus, namun meninggalkan problem
tersohor itu pada Palatine Anthology, yang ditulis setelah meninggalnya. Pada
batu nisan Diophantus tersamar (dalam persamaan) umur Diophantus.
"Seperenam
kehidupan yang diberikan Tuhan kepadaku adalah masa muda. Setelah itu,
seperduabelasnya, cambang dan berewokku mulai tumbuh. Ditambah sepertujuh masa
hidupku untuk menikah, dan tahun kelima mempunyai anak. Sialnya, setengah waktu
dari kehidupanku untuk mengurus anak. Empat tahun kegunakan bersedih".
Umur Diophantus
Dugaan
tentang kehidupan Diophantus cukup misterius. Kita hanya dapat menduga lewat
dua fakta yang menarik sebelum menarik kesimpulan. Pertama, dia mengutip
tulisan Hypsicles yang diketahui hidup sekitar tahun 150 SM. Kedua, tulisan
Diophantus dikutip oleh Theon dari Alexandria. Prakiraan hidup Theon, diacu
dari gerhana matahari yang terjadi pada 16 Juni 364. Dengan dua fakta ini
diperkirakan Diophantus hidup antara tahun 150 SM sampai tahun 364. Para
peneliti, menyimpulkan bahwa diperkirakan Diophantus hidup sekitar tahun 250
Karya Diophantus
Diophanus menulis Arithmetica, yang mana isinya merupakan pengembangan
aljabar yang dilakukan dengan membuat beberapa persamaan. Persamaan-persamaan
tersebut disebut persamaan Diophantin, digunakan pada matematika sampai
sekarang.
Diophantus menulis lima belas namun hanya enam buku yang dapat dibaca,
sisanya ikut terbakar pada penghancuran perpustakaan besar di Alexandria. Sisa
karya Diophantus yang selamat sekaligus merupakan teks bangsa Yunani yang
terakhir yang diterjemahkan. Buku terjemahan pertama kali dalam bahasa Latin
diterbitkan pada tahun 1575. Prestasi Diophantus merupakan akhir kejayaan
Yunani kuno.
Fermat mengetahui buku Diophantus lewat terjemahan Clause Bachet yang
diterbitkan tahun 1621. Problem kedelapan pada buku kedua tentang cara membagi
akar bilangan tertentu menjadi jumlah dua sisi panjang. Rumus Pythagoras sudah
dikenal orang Babylonia 2000 tahun silam memberi inspirasi bagi Fermat untuk
menuliskan TTF/Theorema Terakhir Fermat (Fermat Last Theorem).
Susunan dalam Arithmetica tidak secara sistematik operasi-operasi
aljabar, fungsi-fungsi aljabar atau solusi terhadap persamaan-persamaan
aljabar. Di dalamnya terdapat 150 problem, semua diberikan lewat contoh-contoh
numerik yang spesifik, meskipun barangkali metode secara umum juga diberikan.
Sebagai contoh, persamaan kuadrat mempunyai hasil dua akar bilangan positif dan
tidak mengenal akar bilangan negatif. Diophantus menyelesaikan problem-problem
menyangkut beberapa bilangan tidak diketahui dan dengan penuh keahlian
menyajikan banyak bilangan-bilangan yang tidak diketahui.
Contoh:
Diketahui bilangan dengan jumlah 20 dan jumlah kuadratnya 208; angka bukan
diubah menjadi x dan y, tapi ditulis sebagai 10 + x dan 10 – x (dalam notasi
modern). Selanjutnya (10 + x)² + (10 - x)² = 208, diperoleh x=2 dan bilangan
yang tidak diketahui adalah 8 dan 12.
Diophantus dan Aljabar
Dalam Arithmetica, meski bukan merupakan buku teks aljabar akan tetapi
didalamnya terdapat problem persamaan x² = 1 + 30y² dan x² = 1 + 26y², yang
kemudian diubah menjadi “persamaan Pell” x² = 1 + py²; sekali lagi didapat
jawaban tunggal, karena Diophantus adalah pemecah problem bukan menciptakan
persamaan dan buku itu berisikan kumpulan problem dan aplikasi pada aljabar.
Problem Diophantus untuk menemukan bilangan x, y, a dalam persamaan x² + y² =
a² atau x³ + y³ = a³, kelak mendasari Fermat mencetuskan TTF (Theorema Terakhir
Fermat). Prestasi ini membuat Diophantus seringkali disebut dengan ahli aljabar
dari Babylonia dan karyanya disebut dengan aljabar Babylonia.
Misal
umur x, sehingga x = 1/6x + 1/12x + 1/7x + 5 + ½x + 4 akan diperoleh x = 84,
umur Diophantus.
Pengaruh
Karya Diophantus 'memiliki pengaruh besar dalam sejarah. Edisi
Arithmetica memberikan pengaruh besar pada perkembangan aljabar di Eropa pada
akhir abad keenam belas dan melalui abad 17 dan 18. Diophantus dan
karya-karyanya juga telah mempengaruhi matematika Arab dan ketenaran besar di
antara matematikawan Arab. Karya Diophantus 'menciptakan dasar untuk aljabar
dan pada kenyataannya banyak matematika canggih didasarkan pada aljabar.
Ia merupakan "Bapak Aljabar" bagi Babilonia yang mengembangkan
konsep-konsep aljabar Babilonia. Karya besar Diophantus berupa buku aritmatika,
buku karangan pertama tentang sistem aljabar. Bagian yang terpelihara dari
aritmatika Diophantus berisi pemecahan kira-kira 130 soal yang menghasilkan
persamaan-persamaan tingkat pertama.
Karya
Seringkali disebut dengan
”Bapak aljabar" Babylonia. Karya-karyanya tidak hanya mencakup tipe
material tertentu yang membentuk dasar aljabar modern; bukan pula mirip dengan
aljabar geometri yang dirintis oleh Euclid.
Diophantus mengembangkan konsep-konsep aljabar Babylonia dan merintis
suatu bentuk persamaan sehingga bentuk persamaan seringkali disebut dengan
persamaan Diophantine (Diophantine
Equation) menunjuk bahwa Diophantus cukup memberi sumbangsih bagi
perkembangan matematika.
Selain itu Diophantus sering disebut "bapak aljabar "karena ia
memberikan kontribusi besar terhadap teori bilangan, notasi matematika, dan
Arithmetica.
C. PENUTUP
1.
Rangkuman
Babilonia adalah
sebuah peradababan kuno yang terletak di kawasan tengah-selatan Mesopotamia (Dataran yang sangat subur
diantara sungai Tigris dan Eufrat). Kawasan Mesopotamia termasuk warisan dari suku Sumeria, Akkad dan Asyria (pada tahun 2300 SM). Pada tahun 2000
SM suku Babilon menyerang suku tersebut dan mendirikan ibu kota Babilonia.
Matematika Babilonia merujuk pada seluruh
matematika yang dikembangkan oleh bangsa. Mesopotamia yang kini bernama Iraq sejak permulaan Sumeria hingga permulaan peradaban helenistik. Dinamai
“Matematika Babilonia” karena peran utama kawasan Babilonia sebagai tempat
untuk belajar. Pada zaman helenistik matematika Babilonia berpadu
dengan matematika Yunani dan Mesir, kemudian dibawa kekhalifaan Islam,
Mesopotamia, terkhusus Bagdad, menjadi pusat penting pengkajian matematika Islam.
Lebih
dari 400 lempengan tanah liat ditemukan sebagai sumber sejarah
bangsa Babilonia yang digali sejak 1850-an. Lempengan-lempengan tersebut
ditulis dengan menggunakan tulisan berbentuk paku. Lempengan
tersebut diberi tulisan ketika tanah liat masih basah, dan kemudian dibakar
dalam tungku atau dijemur di bawah terik matahari bahkan beberapa
di antaranya adalah karya rumahan.
Teks matematika Babilonia sangat
banyak jumlahnya dan teredit dengan sangat baik. Sistem matematika Babilonia adalah
seksagesimal atau bilangan berbasis 60. Kemajuan besar dalam
matematika ini terjadi karena dua alasan. Pertama, angka 60 memiliki banyak
pembagi yaitu 2, 3, 4, 5, 6, 10, 12, 15, 20, dan 30, yang membuat perhitungan
jadi lebih mudah. Selain itu, bangsa Babilonia memiliki sistem bilangan real
dimana digit yang ditulis sebelah kiri memiliki nilai yang lebih besar seperti
bilangan berbasis 10.
Bangsa
Babilonia juga sudah sangat familiar dengan aturan umum untuk mengukur suatu
area. Mereka mengukur keliling lingkaran sebanyak 3 kali diameter dan luasnya
sebagai satu per dua belas kuadrat dari lingkaran, dan jika hitungannya benar,
maka nilai π akan bernilai 3.
Sistem penulisan bangsa
babilonia dikenal dengan sebutan ”cuneiform” yang berasal dari kata ”cuneus” yang bermakna irisan atau belahan dan kata “forma” yang bermakna bentuk.
Matematika Babilonia ditulis menggunakan sistem
bilangan seksagesimal (basis-60).
Penggunaan bilangan seksagesimal dapat dilihat pada penggunaan satuan waktu
yaitu 60 detik untuk semenit, 60 menit untuk satu jam, dan pada penggunaan
satuan sudut yaitu 360 (60 x 6) derajat untuk satu putaran lingkaran, juga penggunaan detik dan
menit pada busur lingkaran yang melambangkan pecahan derajat. Kemajuan orang
Babilonia di dalam matematika didukung oleh fakta bahwa 60 memiliki banyak
pembagi.
Bangsa Babilonia memiliki sistem
nilai-tempat yang sejati, di mana angka-angka yang dituliskan di lajur lebih
kiri menyatakan nilai yang lebih besar, seperti di dalam sistem desimal. Akan tetapi, terdapat
kekurangan pada kesetaraan koma desimal, sehingga nilai tempat suatu simbol
seringkali harus dikira-kira berdasarkan konteksnya. Pada zaman ini juga
belum ditemukan angka nol. Tetapi bangsa Babilonia tidak hanya menggunakan
sistem seksagesimal saja mereka juga menggunakan bilangan basis 10. Basis 10
digunakan karena bilangan 1 sampai 59 yang dibentuk dari simbol ‘satuan’atau
unit dan simbol’puluhan’yang ditempatkan menjadi satu kesatuan. Berikut adalah
59 simbol bilangan Babilon.
Berapa
penemuan dari Babilonia yang masih digunakan sampai sekarang:
a.
Menentukan sistem bilangan, sistem berat dan ukur pertama
kali.
b.
Menggunakan sistem desimal dan π = 3,125.
c.
Penemu kalkulator pertama kali.
d.
geometri sebagai basis perhitungan astronomi.
e.
Metode pendekatan untuk akar kuadrat.
f.
Sudah mengenal teorema Pytagoras
Sistem penulisan bangsa
babilonia dikenal dengan sebutan ”cuneiform” yang berasal dari kata ”cuneus” yang bermakna irisan atau belahan dan kata “forma” yang bermakna bentuk.
Matematika Babilonia ditulis menggunakan sistem bilangan seksagesimal (basis-60).
Penggunaan bilangan seksagesimal dapat dilihat pada penggunaan satuan waktu
yaitu 60 detik untuk semenit, 60 menit untuk satu jam, dan pada penggunaan
satuan sudut yaitu 360 (60 x 6) derajat untuk satu putaran lingkaran, juga penggunaan detik dan menit
pada busur lingkaran yang melambangkan pecahan derajat. Kemajuan orang
Babilonia di dalam matematika didukung oleh fakta bahwa 60 memiliki banyak
pembagi. Bangsa Babilonia memiliki sistem nilai-tempat yang sejati, dimana
angka-angka yang dituliskan di lajur lebih kiri menyatakan nilai yang lebih
besar, seperti di dalam sistem desimal
Sistem posisional seksagesimal
Bablonia menganut cara penulisan seperti cara di atas, yaitu bahwa
posisi yang paling kanan adalah untuk unit samapai 59, satu sisi disebelah
kirinya adalah untuk 60 x n, dimana 1 kurang dari n kurang dari 59
dan seterusnya. Sekarang kita menggunakan notasi dimana bilangan dipisahkan
dengan koma, misalnya, 1, 57, 46, 40
menyatakan bilangan seksagesimal1 kali 60 pangkat 3 tambah 57 kali 60 pangkat dua ditambah 46 kali
60 tambah 40 yaitu dalam notasi desimal bernilai 424000.
2. Latihan
1)
Bagaimana sejarah munculnya awal mula dari matematika
Babilonia?
2)
Bagaimana perkembangan matematika di peradaban Babilonia?
3)
Bagaimana awal mula munculnya bilangan yang pada saat itu
disebut bilangan Babilonia?
4)
Jelaskan tentang sejarah awal mula sistem penulisan pada
zaman peradaban Babilonia?
5)
Jelaskan asal mula cara menghitung keliling lingkaran pada
zaman peradaban Babilonia?
3.
Daftar
Pustaka
Sukardjono. (2003).
Materi pokok filsafat dan sejarah matematika. Jakarta: Universitas Terbuka.
J. Friberg. (1981).
"Methods and traditions of Babylonian mathematics. Plimpton 322,
Pythagorean triples, and the Babylonian triangle parameter equations".Historia Mathematica, 8, pp. 277—318.
Aaboe, Asger .(1964). Episodes from the
Early History of Mathematics. New York: Random House.
Boyer,
C. B. (1989). A
History of Mathematics, 2nd ed. rev. by Uta C.
Merzbach. New York: Wiley.
Burton,
David M. (1997). The History of Mathematics: An Introduction. McGraw Hill.
Eves,
Howard. (1990). An Introduction to the History of Mathematics, Saunders.
Murtiningsih. (2011). Para Pendekar Matematika dari Yunani Hingga
Persia. Yogyakarta : Diva Press.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar