KHOIRI ANAM (1331044)
PRODI : PENDIDIKAN MATEMATIKA 2013 D
DOSEN PENGAMPU: LESTARININGSIH, S.Pd, M.Pd
STKIP PGRI SIDOARJO

Sabtu, 10 Oktober 2015

PENELITIAN TINDAKAN KELAS


REVIEW BUKU METODE PENELITIAN TINDAKAN KELAS
BAB I & II
Karangan : Prof. Dr. Rochiati Wiriatmaja











Oleh ;

Nama          : Khoiri Anam
Nim             : 131044
Kelas           : Matematika 2013-D



PROGRAM STUDI PENDIDIKAN MATEMATIKA
SEKOLAH TINGGI KEGURUAN DAN  ILMU PENDIDIKAN (STIKIP) PGRI SIDOARJO
2013





BAB I
PENELITIAN TINDAKAN KELAS
I.I.  Konsep Penelitian Tindakan Kelas
Penelitian tindakan kelas atau disebut  juga dengan classroom action research yaitu merupakan suatu kegiatan yang dilakukan untuk melakukan perubahan dan juga perbaikan yang dilakukan di dalam kelas.
Adapun tujuan yang setelah kita mengetahui dan juga memahami tentang apa yang dimaksud dengan penelitian tindakan kelas adalah :
  1. Penggunaan istilah Penelitian Tindakan Kelas
  2. Pengaruh postmodernisme terhadap penelitian tindakan kelas
  3. Untuk mengetahui Tradisi penelitian kualitatip
  4. Menjabaran tentang istilah atau defenisi penelitian tindakan kelas
  5. Memberikan contoh penelitian tindakan kelas

I.II.           Awal Perkembangan Penelitian Tindakan Kelas
Perkembangan Penelitian Tindakan kelas tidak bisa lepas dari perkembangan Penelitian Kualitatif yang mana pada akhir-akhir ini berkembang pesat melalui berbagai kajian permasalahan kemanusiaan. Metode dan teori-teori ini telah terakumulasi sehingga membentuk tradisi penelitian yang berbeda dengan yang selama ini dilakukan oleh banyak peneliti. Namun di balik semua fakta yang di hasilkan oleh teori- toeri dan dikemukan oleh para ahlinya, termasuk juga penelitian tindakan kelas yang dikemukan oleh Hopkins, penelitian emansipatoris tindakan ini, yang pemakaian atau penamaan yang berbeda-beda, contohnya saja penelitian tindakan kelas atau disebut juga dengan classroom research karena penelitian untuk perubahan perbaikan itu di lakukan didalam ruang kelas. Namum Hopskins sendiri kemudian memakai istilah classroom research in actions yang bisa juga classroom action research. Pada saat penelitian itu memasuki tahapan-tahapan kegiatan yang harus di lakukan, dengan alasan bahwa istilah penelitian kelas meningkatkan kepada penelitian yang dilakukan oleh para peneliti pendidikan (educational researchers) dengan menjadikan guru dan para murid sebagai obyek penelitian yang berada di luar orbit kehidupan mereka. Istilah educational action research dipakai juga untuk jenis penelitian tindakan yang di lakukan untuk menghadapai berbagai masalah dan isu-isu pendidikan. Dalam perkuliahan sehari-hari istilah yang digunakan adalah penelitian tindakan Kelas (PTK).
I.III.        Pengaruh Aliran Postmodernisme
Tidak dapat di pungkiri lagi bahwa para peneliti kualitatif banyak yang terpengaruh oleh aliran pasca modern (postmodern), yang mengehendaki pendekatan inkuiri yang menolak upaya- upaya ilmiah dari kemampanan penelitian professional yang cendrung berstuktur kekuasaan. Penelitian yang seperti itu juga disebut sebagai penelitian pascaposifistik untuk membedakan dengan penelitian yang memakai alur pikir hipotetik-deduktif -verifikatif.
Isu mengenai postmodernisme sudah dua puluh tahun lebih menjadi perdebatan kontrolvesial dikalangan cendikiawan, terutama di Barat. Adapun yang dimaksud dengan aliran pascamodern ialah merujuk pada gerakan estetik yang berkembang pada tahun 1980-an dikalangan disiplin ilmu seperti arsitektur, sastra, seni, sosiologi, mode fashion dan teknologi (http://www.colorado.edu/english/klages/pomo.html). Pada waktu itu di kalangan cendikiawan Perancis terbitlah sebuah karya Jean – Francois Lyotard yang berjudul Postmodern condition (1979) yang isinya mengkritik landasan keilmuan yang holistic, dasar-dasar dari kenyataan kebenaran secara metafisik, dan terhadap tiori-tiori besar yang dijadikan ukuran kebenaran kenyataan tersebut.
Secara sederhana, gerakan ini menunjuk kepada aliran berfikir yang berkembang sesudah periode modernisme. Agar lebih jelas, dalam konteks sejarah, aliran modernisme sendiri yang berkembang pada zaman pencerahan atau pada abad ke-18 dan dilandasi dibidang keilmuan dengan rasio, atau rasionalitas sebagai bentuk tertinggi dalam fungsi mental yang di tandai dengan obyektivitas. Pengetahuan yang di capai melalui sains menghasilkan kebenaran yang universal mengenai dunia, dan kebenaran yang dicapai melalui sains akan membawa peningkatan dan kemajuan kepada kemanusiaan.
Di pihak lain, aliran pasca modern berpendapat bahwa ada kebenaran dan alternatif lain yang menkritik iklim keilmuan yang melembaga dalam tradisi barat, dengan mencari di tempat-tempat lain dan pandangan baru. Apabila disimpilkan aliran pascamodern merupakan bentuk kegelisahan kaum intelektual periode akhir abad ke-20 terhadap berbagai hubungan antara seni dan konteks sosial, antara praktek-praktek budaya dan pelestarian & perubahan dalam masyarakat, dalam keruntuhan landasan pikir filosof tradisional vis a vis bentuk kritik trhadap status quo, dan kemajemukan yang tumbuh dalam tradisi barat yang kurang toleran terhadap perdedaan yang diutarakan oleh banyak suara, pertanyaan, bahkan konflik. Pasca modernism ditandai dengan perekonomian global dengan perusahaan multinasional dan kapitalisme konsumer, dengan teknologi listrik dan tenaga nuklir.
Gugatan para peneliti aliran postmodernisme terhadap penelitian positivistic antara lain sebagai berikut :
a.       Kecendrungan yang deterministic
b.      Kecendrungan mereduksi, termasuk fenomena kemanusiaan yang harus tunduk kepada satu peringkat dalil atau teori saja.
c.       Pengaruh peneliti sangat menentukan, seperti tampak dalam defenisi permasalahan, instrumentasi, pengumpulan data dan analisisnya, serta manfaat hasil penelitian dan dengan mengesampingkan hak-hak responden.
d.      Tekanan penelitian pada etict dengan perspektif luar (yang obyetif)dan mengesampingkan Emic yaitu penelitian yang mencangkup perspektip dalam (Lincoln dan Guba, 1985;24-25).
I.IV.        Tradisi Penelitian Kualitatif
Yang dimaksud dengan tradisi penelitian ialah, apabila sekelompok ilmuan sepakat dalam hakikat universal dari pertanyaan atau permasalahan sah yang sedang di kaji. Sedangkan penelitian kualitatif adalah sebuah proses inkuiri yang menyelidiki masalah-masalah sosial dan kemanusiaan dengan tradisi metodologis yang berbeda (Creswell;1995-:15). Peneliti membanggung sebuah gambaran yang kompleks dan holistic, menganalisa kata-kata, melaporkan pandangan atau opini para informan, dan keseluruhan studi berlangsung dalam latar situasi yang alamiah. Karena penelitian dan kegiatan ilmiah merupakan kegiatan social, maka para peneliti yang bekerja dalam berbagai tradisi penelitian dipengaruhi oleh pekerjaan peeneliti lainnya dan terjadi saling fertilisasi dari berbagai pengaruh.
Berikut adalah rangkuman dari karakteristik penelitian kualitatif :
1.      Penelitian kualitatif berlangsung dalam latar alamiah, tempat kejadian dan prilaku manusia berlangsung.
2.      Penelitian kualitatif berbeda dengan asumsi-asumsi dengan penelitian kauntitatif, teori dan hipotesis tidak secar apriori diharuskan
3.      Peneliti adalah instrument utama penelitian dalam pengumpulan data.
4.      Data yang dihasilkan bersifat deskriftif atau dalam kata-kata.
5.      Fokus diarahkan kepada persepsi dan pengalaman partisipan.
6.      Proses sama pentingnya dengan produk, perhatian peneliti diarahakan ke pemahaman bagaimana berlangsungnya kejadian.
7.      Penafsiran dalam pemahaman idiografis, perhatian pada partikular, bukan kepada membuat generalisasi.
8.      Memunculkan design, peneliti mencoba menkonstruksikan penafsiran dan pemahan dengan sumber data manusia.
9.      Mengandalkan pada tcit knowledge, maka data tidak dapat dikuantitatifkan karena apresiasi terhadap nuansa dari majemuknya kenyataan.
10.  Objektifitas dan kebenaran dijunjung tinggi, namun kriterianya berbeda karena derajat keterpercayaan didapat melalui verifikasi berdasarkan koherensi, wawasan, dan manfaat. (Creswell, 1994:162-163). 

I.V.           Apa Yang Disebut Penelitian Tindakan Kelas
Pengertian penelitian tindakan kelas, untuk mengidentifikasi penelitian kelas adalah penelitian yang mengkombinasikan prosedur penelitian dengan tindakan substantive, suatu tindakan yang dilakukan dalam disiplin inkuiri atau suatu usaha seseorang untuk memahami apa yang sedang terjadi, sambil terlibat dalam sebuah proses perbaikan dan perubahan.(Hopkins,1993:44). Rapoport(1970) mengartikan penelitian tindakan kelas untuk membantu seseorang Dalam mengatasi secara praktis persoalan yang dihadapi dalam situasi darurat dan membantu pencapaian tujuan ilmu social yang disepakati bersama. Sedangkan Kemmis (1983) menjelaskan bahwa penelitian tindakan kelas adalah sebuah bentuk inkuri reflaktif yang dilakukan secara kemitraan mengenai situasi social tertentu untuk meningkatkan rasionalitas dan keadialan dari:
  1. Kegiatan praktek sosial atau pendidikan mereka.
  2. Pemahaman mereka mengenai kegiatan-kegiatan praktek pendidikan ini
c.        Situasi yang memungkinkan terlaksananya kegiatan praktek ini.

I.VI.        Pelaksanaan Penelitian Tindakan Kelas
Untuk lebih menjelaskan pemahaman tentang penelitian tindakan kelas, berikut ini diberian contoh dalam melakukan kegiatan tersebut.
Upaya Peningkatan Kualitas Pembelajaran IPS di Sekolah Dasar Melalui Pendekatan Cooperative Learning (2001). Penelitinya adalah K.R., sorang pendidik di Lembaga Pendidikan Guru setempat, yang ingin diperkenalkan penelitian kelas dan metode pembelajaran kooperatif dalam IPS kepada guru SD kelas V di kota itu yang menjadi mitra dalam penelitian ini. Mitra guru ini berpendidikan D – II PGSD, telah berpengalaman mengajar 12 tahun, dan telah mengikuti penataran untuk beberapa aspek mengajar di SD. Pada tahap orientasi, KR menemuka bahwa mitra guru SD memberikan pelajaran IPS dengan cara ekspositorik, yang sebagaian waktu mengajarnya digunakan untuk ceramah, memberikan informasi, dan menjelaskan. Hanya sebagian kecil waktu belajar mengajar yang digunakan untuk kegiatan siswa, itu pun hanya mencatat dan melaksanakan evaluasi. Maka dalam kondisi yang dilakukan berikutnya KR menawarkan model pembelajaran “cooperative learning process” kepada mitranya untuk dicoba. Setelah KR memberi penjelasan dan arahan tentang bagaimana pembelajaran kooperatif itu dilaksanakan dan untuk tujuan apa, mitra guru bersedia untuk mencobanya. Kegiatan tindakan yang dilakukan dalam empat siklus dengan penyaji mitra guru dan dengan KR sebagai pengamat, menghasilkan peningkatan kinerja guru dalam memberikan pelayanan pendidikan yang lebih baik dengan kemapuan untuk membagi kelas dalam kelompok kerja dan diskusi, membagikan tugas kelompok, mempimpin dan melakukan fungsi fasilitator dan mediator dalam diskusi kelompok dan kelas, melakukan penilaian dan proses belajar. Sedangkan pada pihak siswa, terjadi peningkatan belajar dalam bentuk kelompok dan bukan hanya dalam bentuk belajar individual, kerjasama, membuat dan melaksanakan tugas, berpartisipasi dalam diskusi kelompok dan kelas dengan mengemukakan pendapat dan bertanya, serta belajar menghargai pendapat siswa lain. Hasil – hasil penelitian yang menunjukkan peningkatan ini berasal dari observasi KR, catatan lapangannya, wawancara dengan siswa, mitra guru, guru lain dan kepala sekolah, serta nilai – nilai yang dicapai siswa baik dalam proses pembelajaran maupun dalam hasil belajar akhir (dengan batas kelulusan 7,5 menunjukkan kenaikan prestasi antara 53,03% sampai 73,45%). Yang lebih berarti, di samping hasil belajar, ialah meningkatnya keterampilan sosial siswa yang mendorong aktifitas belajar dengan lebih berani bertanya dan mengemukakan pendapat, bertanggung jawab dalam melaksanakan tugas, dan bekerja sama dengan sesama siswa. KR merekomendasikan untuk menyebarluaskan model pembelajaran yang kooperatif ini kepada kepala sekolah dan kepada lembaga pendidikan setempat.
Penelitian tindakan kelas yang dilaksanakan dalam enam siklus berkesimpulan bahwa pendekatan resulusi konflik dalam melatih guru untuk melakukan berbagai variasi dalan strategi mengajar dan juga belajar. Juga melatih diri untuk melakukan peran sebagai fasilitator, mediator, dan evaluator dalam proses pembelajaran yang berhasil membangaun suasana kelas yang demokratis. Sedangkan dari pihak siswa, terjadi perubahan pandangan siswa terhadap pelajaran-pelajaran yang melaui model-model pembelajaran yang berbeda mereka mulai memainkan peranan yang lebih aktif, melihat adanya hubungan antara pelajaran masa lalu dan kehidupan mereka sendiri, dan bahwa dengan memiliki berbagai ketramilan dalam berbagai konflik diantaranya mengembangkan ketrampilan mengambil keputusan, mengembangkan kemampuan berpikir kritis.























BAB II
KERANGKA FILSAFAH PENELITIAN TINDAKAN KELAS
II.I.           Sejarah Singkat Penelitian Tindakan kelas
Penelitian kelas dimana guru melakukan peranan sebagai peneliti dan kelas sebagai laboratorium. Di Barat tempat awal kegiatan ini berlangsung, berkembang meluas sehingga merupakan gerakan social dibidang pendidikan. Di Indonesia, penelitian tindakan kelas mulai digerakkan pada waktu upaya-upaya perbaikan mutu pendidikan dimulai dengan renovasi ditingkat pendidikan guru SD seperti PGSD, kemudian meluas ke kalangan guru-guru SLTP dan SMA terutama mereka yang belajar melalui program-promram ke-SD-an dan regular pada Program Pascasarjana LPTK seperti di IKIP Jakarta, Bandung, Malang dan lain-lain dalam decade tahun 1990-an.
II.II.        Karakteristik penelitain tindakan kelas yang emansipatoris dan membebaskan (Liberating)
Istilah Penelitian Tindakan Kelas yang dipakai dalam wacana adalah Penelitian Tindakan Emansipatoris. Emansipasi dalam pemahaman bahasa Indonesia sehari-hari mempunyai makna perbaikan nasib, peningkatan status atau perjuangan ke setaraan. Penelitian Tindakan Kelas bersifat Emansipatoris dan membebaskan karena penelitian ini mendorong kebebasan berfikir dan berargumen pada pihak siswa, dan mendorong guru untuk bereksperimen, meneliti dan menggunakan kearifan dalam mengambil keputusan atau judgment (Hopkins, 1993:35).
Apabila guru mampu melakukan hal tersebut, maka guru akan memiliki control terhadap kegiatan profesi mereka. Mereka tidak akan puas melakukan apa yang diperintahkan atasan, yang akan menimbulkan perasaan tidak yakin tentang apa yang mereka lakukan. Dalam kinerjanya, guru harus memperhatikan kurikulum, instruksi kepala sekolah, para pengawas bahkan buku teks yang ditentukan dari atas; akan tetapi dengan melakukan penelitian mereka akan mengembangkan kemampuan memutuskan atau mengambil kesimpulan secara professional, dan dengan demikian bergerak kearah otonomi dan emansipasi, karena kebenaran yang terkandung dalam penelitian yang mereka lakukan harus diterima oleh pihak manapun.
Dalam bahasan diatas, emansipasi guru selalu dikaitkan dengan istilah atau konsep profesi, sebagai guru yang professional. Profesi dalam pemahaman sosiologis merupakan istilah yang mengacu pada model pekerjaan yang diinginkan atau dicita-citakan; yang apabila terus digeluti akan mempunyai kerangka acuan untuk upaya-paya meningkatkan statusnya, ganjaran atau rewards-nya, dan kondisi pekerjaannya(Hendrawan dan Halimah, 2004:3).
Didalam kamus advanced learner’s dictionary of current english(1973), profesi dijelaskan sebagai pekerjaan yang membutuhkan pendidikan yang lebih lanjut dan latihan khusus. Dalam Good’s dictionay of education profesi dijabarkan sebagai suatu pekerjaan yang meminta persiapan spesialisasi yang relatif lama di perguruan tinggi. Konvensi Nasional Pendidikan Indonesia (1998) menjabarkan pekerjaan profesional dengan rincian sebagai berikut;
  1. Dasarnya panggilan hidup yang dilakukan sepenuh waktu serta untuk jangka waktu yang lama.
  2. Memiliki pengetahuan dan ketrampilan khusus
  3. Dilakukan menurut teori, prinsip, prosedur, dan anggepan dasar yang sudah baku sebagai pedoman dalam melayani klien
  4. Sebagai pengabdian kepada masyarakat, bukan mencari keuntungan finansial.
  5. Dilakukan secara otonom yang bisa diuji oleh rekan-rekan seprofesi.
  6. Mempunyai kode etik yang dijunjung oleh masyarakat.
g.       Pekerjaan yang dilakukan untuk melayani mereka yang membutuhkan.(Hendrawan dan Halimah, 2004;3-5)

Tututan terhadap sikap professional guru antara lain disebabkan adanya keluhan masyarakat yang mengemukakan ketidakpuasan mereka terhadap banyaknya guru atau dosen yang kurang memenuhi harapan dalam mendidika anak-anak mereka, disebabkan antara lain karena rendahnya performans guru atau dosen di sekolah atau perguruan tinggi. Terhadap kenyataan ini, banyak yang beranggapan bahwa pekerjaan guru bisa dilakukan oleh siapa saja, bahkan oleh orang awam sekalipun.
Pendapatan guru yang kurang mencukupi kebutuhan hidup mereka, maka banyak diantara mereka yang mempunyai pekerjaan tambahan dan hal ini yang mengakibatkan rendahnya kualitas mengajar mereka karena kecapaian. Sekaran jabatan guru kurang diminati, terutama oleh generasi muda. Rekrutmen calon guru pada umumnya bukan karena dorongan minat akan pekerjaan dibidang pendidikan, melainkan asal mendapat lapangan pekerjaan. Hal-hal tersebut mengakibatkan keinerja mereka rendah karena kurang motivasi, kedudukan guru dimata masyarakat menurun, dan status social mereka menjadi rendah.
Kondisi seperti ini hendaknya disadar oleh kalangan pendidik sendiri, baik guru maupun dosen. Dengan melakukan refleksi atau monitor diri, guru akan melihat adanya perbedaan atau kesenjangan antara cita-cita atau idealism sebagai pendidik dengan performans kinerjanya.
II.III.     Refleksi, Refleksi diri dan pembelajaran yang reflektif
Dalam bahasa Indonesia refleksi adalah perbuatan merenung atau memikirkan sesuatu. Kamus bahasa Inggris “The Adveced Learner’s Dictionary of Current English”, menerangkan kata reflect dengan berpikir atau mempertimbangkan.
Praktek reflektif memang mempunyai makna yang mejemuk (Adler, dalam Ross, Ed.1994:52-55), masing-masing berbicara tentang hal-hal yang berbeda dan memakai sumber yang berbeda.
Adler melihat ada tiga perspektif mengenai refleksi, yakni:
  1. Inkuiri reflektif, yang difokuskan kepada pilihan guru dalam strategi mengajar, konten/materi pembelajaran, dan tujuan. Berdasarkan penjabaran ini kemudian Cruikshank (1987, dalam Adler, 1994) mengembangkan model pembelajaran reflektif. Dengan tujuan melatih para guru dan calon guru untuk berefleksi, ia mengembangkan model “content free lesson” dan meminta kepada mereka assesmen mengenai efektif atau tidak efektifnya model tersebut. Cruikshank juga meminta para peserta untuk merefleksi hasil/produk dan tujuan pembelajaran demikian, apakah tercapai atau tidak. Berdasarkan pengalaman ini, ia mengambil kesimpulan bahwa pembelajaran reflektif adalah kesempatan untuk mengaplikasikan teori dan prinsip mengajar dan belajar yang dikembangkan melalui inkuiri ilmiah dalam situasi nyata.
  2. Schon (1987) memilih refleksi dalam tindakan. Ia melihat, bahwa para praktisi di lapangan (kelas/sekolah) yang bersikap refleksi, dapat melakukan kegiatan mengajar sambil berpikir. Sehingga dengan demikian ia dapat segera merespon situasi-situasi yang kurang menyakinkan, yang unik, bahkan situasi konflik.
  3. Zeichner dan loston (1987) memahami 3 tahap refleksi , yaitu; tahap teknis dimana guru mengaplikasi ilmunya untuk mencapai tujuan pembelajaran , tahap dua yaitu guru perlu merefleksi mengenai pilihan yang ia lakukan untuk mengajar, tahap ketiga yaitu refleksi yan berkaitan dengan isiu-isu etika moral

II.IV.     Penelitian tindakan kelas dalam konteks rasa percaya diri dan harga diri
Penelitian tindakan kelas adalah salah satu jalan yang terbuka untuk para pendidik yang ingin menambah ilmu pengetahuan, melatih praktek-praktek pembelajaran dikelas dengan berbagai medel yang akan mengaktifkan guru dan siwa, mencoba melakukan penelitian secara reflektif melakukan kritik terhadap kekurangan dan berusaha memperbaikinya agar pendidikanbenar-benar dapat menadi bidang profesi. Penelitian tindakan kelas adalah suatu gerakan sosial untuk perbaikan dan peningkatan kualifikasi guru, agar guru merasa percaya diri dalam menjalankan profesinya dan dengan demikian mendapatkan kembali harga dirinya.
Bahwa Penelitian Tindakan Kelas dapat mengembalikan rasa percaya diri atau self confidence guru, dan dengan demikian mengembalikan harga diri atau self esteem, atau self respect guru.
Penelitian Tindakan Kelas yang bersemangat membebaskan (liberating) dan menyetarakan (emancipating) dalam konteks profesi guru adalah, karena dengan kesadaran akan kekurangannya ia berusaha memperbaikinya, maka kembalinya rasa percaya diri dan harga diri, sungguh hal itu memberikan rasa pembebasan guru dari ketergantungan kepada berbagai pihak, dan keseteraan dengan sesama profesi lain yang selama ini selalu dihargai masyarakat.
Stenhouse, yang melihat aspek ini dari proses pengembangan kurikulum, mengemukakan bahwa guru yang meneliti (teacher as researcher) sebenarnya melakukan seperti yang diharapkan dalam konsep extend professionalism, yakni mengembangkan perspektif, keterampilan dan keterlibatan yang meliputi:
a.       Ia harus memiliki wawasan yang luas mengenai pekerjaannya dalam konteks sekolah, masyarakat, dan lingkungannya.
b.      Berpartipasi dalam kegiatan – kegiatan prosfesional seperti dalam kelompok guru, konferensi guru, atau diskusi – diskusi mengenai bidang kajian mereka.
c.       Memiliki kepedulian untuk menjalankan teori dan praktek.
d.      Untuk itu mereka bersikap inovatif di kelas mereka (Hoyle dalam Stenhouse, 1984:143 – 144)
II.V.        Beberapa Catatan Mengenai Pencapaian Kebenaran dalam Penelitian
Kekhawatiran yang berlebih – berlebihan terhadap keikutsertaan guru dalam penelitian kelas tidak berasalan, karena setiap penelitian memiliki metode, sistem, dan prosedurnya sendiri yang sudah baku.
Kebenaran menurut Ford dalam Lincoln dan Guba (1985:14) menpunyai makna yang berbeda – beda, antara lain:
a.       kebenaran empirik, yaitu apabila konsisten dengan alasan dalam bentuk menerima atau menolak hipotesis atau prediksi.
b.      Kebenaran logis, yaitu apabila hipotesis atau prediksi konsisten atau secara logis dengan hipotesis atau prediksi terdahulu yang sudah dinyatakan benar.
c.       Kebenaran etik, yaitu apabila peneliti melakukannya sesuai dengan standar perilaku profesional dan moral.
d.      Benaran metafisik, yaitu klaim yang tidak dapat diuji dengan norma – norma eksternal seperti koresponden standar perilaku profesional dan moral, melainkan diterima seperti adanya karena berlandaskan entitas fundamental yang menjadi dasar keyakinan.
II.VI.     Pedoman Etik bagi Guru/Dosen yang Meneliti
Kebebasan guru atau dosen dalam meneliti tidak berarti tidak ada batasnya. Mereka bekerja dan hidup dan lembaga sosial yang memiliki norma – norma atau kaidah – kaidah yang harus dikuti. Karenanya ada baiknya memperhatikan seperangkat pedoman yang harus ditaati sebelum, selama dan sesudah penelitian dilakukan, sebagai beikut:
a.       Meminta kepada orang – orang, panitia, atau yang berwewenang persetujauan dan izin.
b.      Ajaklah kawan – kawan sejawat terlibat dan berpartisapasi dalam penlitian.
c.       Terhadap yang tidak langsung terlibat, perhatikan pendapat mereka.
d.      Penelitian berlangsung terbuka dan transparan, saran – saran diperhatikan, dan kawan sejawat diperbolehkan melakukan protes.
e.       Meminta izin eksplisit untuk mengobservasi dan mencatat kegiatan mitra peneliti, tidak termasuk izin dari siswa apabila penelitian bertujuan meningkatkan pembelajaran.
f.       Minta izin untuk membuka dan mempelajari catatan resmi, surat – surat danb dokumen. Membuat fotokopi hanya diperkenankan apabila diizinkan.
g.      Catatan dan deskripsi kegiatan hendaknya relevan, akurat, dan adil.
h.      Wawancara, pertemuan, atau tukar pendapat tertulis hendaknya memperhatikan pendangan lain, relevan, akurat, dan adil.
i.        Rujukan langsung, rujukan observasi, rekaman, keputusan, kesimpulan, atau rekomendasi hendakanya mendapat izin atau otoritas kutipan.
j.        Laporan disusun untuk kepentingan yang berbeda, seperti laporan verbal pada pertemuan staf jurusan, tertulis untuk jurnal, suratkabar, orangtua murid, dan lain – lain.
k.      Tanggung jawab untuk hal – hal atau pribadi yang sifatnya konfidensial.
l.        Semua mitra penelitian mengetahui dan menyetujui prinsip – prinsip kerja di atas, sebelum penelitian berlangsung.
m.    Hak melaporkan kegiatan dan hasil penelitian, apabila sudah disetujui oleh para mitra peneliti, dan laporan tidak bersifat melecehkan siapapun yang terlibat, maka laporan tidak boleh diveto atau dilarang karena alasan kerahasiaan (Kemmis dan Taggart, dalam Hopkins, 1993: 221-222)


Tidak ada komentar:

Posting Komentar